ARTIKEL UNGGULAN
DEFENISI DAN HUKUM MAF'UL BIH
- Get link
- Other Apps
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Bahasa Arab sebagai bahasa al- Qur’an dan hadis yang keduanya sumber ajaran pokok(primer) Islam dan kedua sumber ajaran Islam itu harus diamalkan.
Namun demikian, tak dapat kita pungkiri bahwa mempelajari bahkan
menguasai bahasa Arab tidaklah semudah membalikkan telapak tangan, tapi bukan
berarti kita tidak mempelajarinya. Karena bahasa Arab mempunyai
karakter dan keistimewaan tersendiri yang berbeda, bahkan mungkin tidak
dimiliki oleh bahasa-bahasa yang lain.
Al-Lughah al-‘Arabiyyah merupakan kata yang menerangkan
gaya bahasa arab, sedangkan tentang ‘Ulum
al-‘Arabiyyah adalah ilmu yang membahas cara pengucapan dan penulisan yakni
Qawa’id al-Lughah al-‘Arabiyyah seperti
‘Ilm al-sharf wa al-Nahwu
Makalah ini merupakan sebagian dari Qawa’id al-Lughah al-‘Arabiyyah, ilmu ini mengajarkan agar
memudahkan dalam pemakaian gaya bahasa, jelas maknanya, dan mendekatkan pemahaman
kita sebagai al-Muta’allimin
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana Pengertian atau definisi Maf’ul bih?
2.
Bagaimana Bentuk-bentuk atau Macam-macam Maf’ul
bih dan hukumnya?
3.
Bagaimana cara Mendahulukan Maf’ul bih dan
mengakhirkannya?
4.
Bagaimana dengan lafadz/kata yang menyerupai Maf’ul bih?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian/Definisi
المَفْعُوْلُ بِهِ
المَفْعُوْلُ بِهِ adalah isim manshub yang menunjukan suatu arti dimana
perbuatan/fa’il jatuh padanya, baik
dalam posisi isbhat (positif) atupun nafi’ (negatif) dan bentuk fa’il sama sekali tidak berubah, contoh:
(+) أكلتُ
الرزَّ (saya telah makan nasi) (-)ما أكلتُ الرزَّ (saya tidak makan nasi). Dalam buku
Qawaid, maf’ulunbih diartikan sebagai
isim mansub yang menunjukkan sesuatu hal yang terjadi atas perbuatan sipelaku
(faa’il).[2]
= aku telah menunggang kuda.
Lafazh kuda itu maf'ul bih, karena menjadi sasaran
perbuatan, yaitu menunggang.
Kata nazhim:
Maf'ul
bih itu ialah, isim yang di-nashab-kan yang menjadi sasaran perbuatan,
seperti dalam contoh:
(Berwaspadalah kalian kepada orang yang
mempunyai sifat tamak).
Lafazh
berkedudukan sebagai fi'il amar;
sedangkan lafazh menjadi maf'ul bih.
B.
Macam-macam المَفْعُوْلُ بِهdan Hukumnya
1. Macam-macam
المَفْعُوْلُ بِهِ
.
Maf'ul bih itu terbagi dua bagian, yaitu maf'ul
bih yang zhahir dan maf'ul bih yang mudhmar.
a.
Maf'ul bih yang zhahir (jelas/nyata), yaitu obyek penderita
yang berupa kata benda (ism) yang
tampak.
b.
Maf'ul bih yang mudhmar (dhamir),
yaitu objek penderita yang berupa kata ganti.
Maf’ul bih
yang berupa ism dhamir terbagi lagi
menjadi dua bagian, yaitu:
1.
Maf’ul bih berupa ism dhamir muttashil
atau objek penderita berupa kata ganti bersambung.
Yang dhamir muttashil ada
dua belas macam, seperti dalam contoh (berikut):
1.
= dia (laki-laki) telah memukulku. Lafazh fi'il madhi, fa'il-nya mustatir (tidak disebutkan), taqdir-nya ; huruf nun-nya lil wiqâyah, sedangkan huruf ya-nya
adalah ya mutakallim wahdah sebagai maf'ul bih;
2.
= dia (laki-laki) telah memukul kami atau kita. Lafazh fi'il madhi, fa'il-nya mustatir,
taqdir-nya , dan huruf nâ-nya adalah dhamir mutakallim ma'al ghair
menjadi maf'ul bih;
3.
= dia (laki-laki) telah memukulmu (laki-laki). Lafazh fi'il madhi, fa'il-nya mustatir,
dan huruf ka-nya adalah maf'ul bih.
4.
= dia (laki-laki) telah memukulmu (perempuan). Lafazh fi'il madhi dan fa'il-nya mustatir,
sedangkan huruf ki-nya adalah maf'ul bih;
5.
= dia (laki-laki) telah memukul kamu berdua (dua orang
laki-laki atau perempuan). Lafazh fi'il madhi dan fa'il-nya mustatir,
sedangkan maful bih-nya adalah lafazh kumâ;
6.
= dia (laki-laki) telah memukul kamu sekalian (para
laki-laki). Lafazh fi'il madhi dan fa'il-nya mustatir,
sedangkan maf'ul bih-nya adalah lafazh kum;
7.
= dia (laki-laki) telah memukul kamu sekalian (para wanita).
Lafazh fi'il madhi dan fa'il-nya mustatir,
sedangkan maf'ul bih-nya adalah lafazh kunna;
8.
= dia (laki-laki) telah memukulnya (laki-laki). Lafazh fi'il madhi dan fa'il-nya mustatir,
sedangkan huruf hu-nya adalah maf'ul bih; dhamir muttashil
ditujukan untuk orang laki-laki yang ghaib;
9.
= dia (laki-laki) telah memukulnya (perempuan). Lafazh fi'il madhi dan fa'il-nya mustatir
(tidak disebutkan), sedangkan huruf ha-nya adalah maf'ul bih;
dhamir muttashil ditujukan untuk seorang wanita ghaib;
10.
= dia (laki-laki) telah memukul mereka berdua (dua orang
laki-laki atau perempuan). Lafazh fi'il madhi, fa'il-nya mustatir,
sedangkan lafazh humâ-nya berkedudukan sebagai maf'ul bih; dhamir
muttashil ditujukan untuk dua orang yang ghaib;
11.
= dia (laki-laki) telah memukul mereka (para laki-laki).
Lafazh fi'il madhi, fa'il-nya mustatir,
sedangkan lafazh hum-nya berkedudukan sebagai maf'ul bih; isim
dhamir muttashil ditujukan untuk para laki-laki;
12.
= dia (laki-laki) telah memukul mereka (para laki-laki).
Lafazh fi'il madhi, fa'il-nya mustatir,
sedangkan lafazh hunna-nya adalah maf'ul bih-nya; isim dhamir
muttashil ditujukan untuk wanita-wanita yang ghaib. [3]
2.
Maf’ul bih berupa ism dhamir munfashil.
Yakni objek penderita berupa kata ganti yang tidak bersambung.
Maf’ul bih yang dhamir munfashil pun ada dua belas macam, seperti dalam contoh (berikut):
Maf'ul bih
itu mencakup maf'ul bih isim zhahir dan maf'ul bih isim dhamir.
Adapun contoh bagi maf'ul bih isim zhahir telah dikemukakan.
Selain maf'ul bih isim zhahir (yaitu maf'ul bih isim dhamir)
terbagi menjadi dua bagian lagi, yaitu berupa dhamir muttashil, seperti
dalam contoh: (dia
telah datang kepadaku); dan (dia
telah datang kepada kami). Dan berupa
dhamir munfashil.
Contoh dhamir munfashil, yaitu (kepadaku),
atau (kamu
telah menghormat kepada kami). (muliakanlah/
hormatilah kepada orang yang menghormati kita).
Maksudnya: Lafazh dan adalah dhamir
munfashil, sedangkan huruf na yang terdapat pada lafazh adalah dhamir
muttashil.
2. Hukum-hukum المَفْعُوْلُ بِهِ
fa’il atau fi’il dan fa’il bersama.
C.
Cara mendahulukan المَفْعُوْلُ بِهِ dan mengakhirkannya
1. Mendahulukan
المَفْعُوْلُ بِهِ atas fa’il
dan mengakhirkannya atas fi’il
hukumnya boleh. Contohnya:
كَتَبَ أحمدٌ الدرسَ (Ahmad telah
menulis pelajaran)
كَتَبَ الدرسَ أحمدٌ (pelajaran
telah ditulis ahmad).
Mendahulukan salah satu diantara
المَفْعُوْلُ بِهِ dan
fa’il hukumnya wajib atas lainnya
apabila:
a. Jika ada diketahui ada keserupaan
dan timbul keraguan lantaran i’rob yang masing-masing lafadz dan tanda-tandanya
tidak jelas serta tidak diketahui mana yang فاعل dan mana yang مفعول.
Contoh:
علّمَ
موسىَ عيسىَ (musa telah mengejar isya), tetapi
apabila ada tanda yang dapat diketahui, maka hukumnya boleh المَفْعُوْلُ بِه ِ. Contoh: أكرمتُ موسى سلمىَ .
b. Fa’il terikat dengan dhamir yang kembali kepada maf’ul maka فاعل
wajib diakhirkan dan maf’ul wajib
didahulukan. Contoh:أكرم سعيداً غلامه (Said telah
dihormati oleh pembantu mudanya).
c. Fa’il dan maf’ul keduanya berupa ism
dhamir dan tidak ada pengkhususan antara salah satunya, maka fa’il wajib didahulukan dan maf’ul wajib diakhirkan.
d. Salah
satunya berupa dhamir muttashil dan yang lain berupa ism zhahir, maka dalam hal ini
didahulukan. Contoh: أكرمتُ علياً (saya telah
menghormati ali).
e. Apabila
salah satunya menjadi sasaran pengkhususan dari fi’il dengan menggunakan lafadz إلاَّ atau إنّما maka maf’ul atau fa’il yang menjadi sasaran pengkhususan
wajib diakhirkan.
2. تقديم المفعول على الفعل والفاعل معاً (mendahulukan
atas maf’ul
atas fi’il dan fa’il
a. Maf’ul berupa ism syarat. Contoh: أيّهم تكْرمْ أُكرِم (manapun mereka, yang engkau hormati
maka saya akan menghormati), atau maf’ul di
mudhaf–kan kepada ism syarat.
Contoh: هَدىَ مَنْ تتَّبِعُ بَنُوْك (pada petunjuk siapapun yang engkau ikuti, maka akan
mengikuti pula putri-putrimu).
b. Maf’ul bih berupa اسم إستِفهَمْ . Contoh: منْ أكرمْتَ (siapakah yang engkau hormati?),
atau maf’ul bih di mudhaf–kan kepada ism istifham,
contoh: كتبَ مَنْ أخذْتَ؟ (siapakah yang
engkau hormati?).
c. مفعول به berupa lafadz كم كأيِّنْ yang mempunyai
makna khabariyah, contoh: كمْ كتبٍ ملكتُ! (banyak sekali kitab yang saya
miliki), كأيّن
منْ علمٍ حويتُ (banyak sekali ilmu pengetahuan yang
saya himpun)
d. Maf’ul bih manshub oleh
jawabanya lafadz أمّا , contoh: فأمَّا اليَتِيْمَ فَلاَتَقْهَرْ (adapun
terhadap anak yatim maka janganlah kamu berlaku sewenang-wenang).
3. Mendahulukan salah satu dari dua maf’ul lainnya
Contoh: علمتُ اللهَ رَحِماً(saya
meyakinkan bahwa Allah maha penyayang).
Kecuali masalah di atas, ada ketentuan bahwa salah satu dari
dua maf’ul itu ada yang wajib didahulukan atas empat macam, yaitu:
a. Jikalau
ada keserupaan, maka wajib mendahulukan maf’ul pertama, contoh: أعطيتُ أخاكَ (saya telah
memberikan engkau kepada saudaramu).
b.
Mendahulukan اسم ضمير dan mengakhirkan مفعول yang berupa اسم ظاهر ketika salah satu dari dua مفعول berupa
اسم
ظاهر
dan yang lain berupa اسم ضمير , contoh: أعطيتُكَ درهماً (saya telah
memberikan kamu uang dirham).
c. Salah
satu مفعول
menjadi sasaran
pengkhususan dari fi’il dalam hal ini
wajib mengakhirkan maf’ul. Contoh:
ما أعطيْتُ سعدًا الاّ درهماً (saya telah
memberikan kepadamu uang dirham).
d. Maf’ul awal wajib memakai ضمير kembali kepada مفعول الثانى ,
maka wajib mengakhirkan مفعول اوّل dan mendahulukan maf’ul
tsani , contoh:
أعْطِ القَوْس باَرِهاَ (berikanlah
busur itu kepada orang yang merautnya).
D. المشبَّه بالمفعول به (Lafadz yang menyerupai maf’ul bih)
, tetapi bukan maf’ul bih. Sebab sifat musyabihat adalah lazim, artinya tidak
dapat menashabkan maf’ul bih, dan juga bukan menjadi tamyiz karena berupa ism ma’rifah
yaitu di mudhaf–kan kepada ism dhamir,
sedangkan ketentuan tamyiz adalah
harus berupa ism nakirah.
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan analisis pembahasan di
atas, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Maf’ul
bih ialah ism yang menjadi sasaran
perbuatan (objek). Maksudnya bahwa maf’ul
bih menurut istilah nahwu ialah ism manshub yang menjadi
sasaran perbuatan pelaku. Dalam pengertian lain disebutkan bahwa maf’ul bih ialah kata yang dikenai pekerjaan oleh objek penderita.
Maf’ul bih
terbagi menjadi dua bagian, yaitu:
a. Maf’ul
bih berupa ism zhahir, yaitu objek
penderita yang berupa kata benda (ism)
yang tampak.
b. Maf’ul
bih berupa ism dhamir, yaitu objek
penderita berupa kata ganti.
Maf’ul bih
semacam ini,terbagi pada dua bagian:
1. Maf’ul bih berupa ism dhamir
muttashil, atau objek penderita
berupa kata ganti bersambung
2. Maf’ul
bih berupa ism dhamir munfashil atau objek penderita kata
ganti yang tidak bersambung.
3.
Hukum-hukum maf’ul
bih ialah:
a. Wajib dibaca nashab
b. Boleh dibuang (tidak disebutkan karena
ada suatu dalil)
c. Diperbolehkan fi’il dari maf’ul bih dibuang atau tidak jika disebutkan
dalilnya
d. Mengakhirkan fi’il dan fa’il atau
telah mendahulukan fa’il atau fi’il dan fa’il bersama.
|
4.
Cara mendahulukan المَفْعُوْلُ بِهِ dan mengakhirkannya
a. Mendahulukan
المَفْعُوْلُ بِهِ atas fa’il
dan mengakhirkannya atas fi’il
hukumnya boleh.
b. Mendahulukan atas maf’ul atas
fi’il dan fa’il
c.
Mendahulukan salah satu dari dua maf’ul lainnya
5.
Apabila lafadz yang diamalkan oleh al-Shifat al-Musyabbah
ma’ruf, maka akan mempunyai hak baca rafa’ karena sebagai fa’il-nya,
B.
Implikasi
Mengingat betapa pentingnya penguasaan ilmu
Nahwu pada ummnya, dalam pengembangan Bahasa Arab, penulis berharap
literatur-literatur yang berkaitan dengan hal tersebut lebih banyak diterbitkan
dalam format buku kontemporer. Selain rumit
dan kompleks, mayoritas kitab Nahwu yang berupa kitab kuning masih susah untuk
dipahami oleh masyarakat akademik yang berpengetahuan Bahasa Arab rendah.
Penulis memahami makalah ini jauh dari
kesempurnaan karenanya penulis menerima saran dan kritikan yang sifatnya
membangun demi menjadi lebih baik.
DAFTAR
PUSTAKA
A. Zakariya, Ilmu Nahwu Praktis (system
belajar 40 jam), Cet. Ke IV ;Garut: Ibnu Azka press
Anwar, Moch. Ilmu Nahwu,
TerjemahanMatanal-ajurumiyyahdan’imrithy,(Cet;6, Bandung: Sinar Baru Algesindo,
1995).
………………Ilmu Sharaf.
Bandung: Sinar baru algesindo, 1985.
Arsyad, azhar. Menguasai Kata
Kerja popular dan Preposisi Bahasa Arab. Cet. III; Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2006.
Al-gula>yaini>, al-Syekh Must}afa>. Ja>mi’
al-Duru>s al-‘Arabiyah. Al-T}aba’ah al-Ta>si’ah wa al-‘Isru>n:
al-Maktabah al-‘Is}riyyah, 1994Alisyahbana, Sutan takdir. Tata bahasa Baru Bahasa Indonesia. Jakarta: Dian Rakyat, 1980.
Hasan. Al-Furqan: Tafsir Qur’an. Cet. X;
Jakarta: Dewan Da’wah Islamiyah, t.th.
Muhammad
Araa’ini, Syekh Syamsuddin, Ilmu Nahwu Terjemahan Mutammimah Ajurumiyyah. Bandung:
Sinar Baru Algensindo, 2006.
Salabi, Ahmad. Gramatika
Bahasa Arab, terj. Mansyur amin & Hasyim Utsman,Cet.I; Bandung:
Al-Ma’arif, 1981.
Thalib, Moh. Tata Bahasa Arab. Bandung: AL-Ma’arif,
1976.
http://pustaka.abatasa.com/pustaka/detail/bahasa-arab/allsub/10/maf--ul-bih.html, 11.1. 2012
Syarif Bustani, Qawaid Tingkat Mutawassitah, ( seri B,
Ujung Pandang, 1987).
[1]A. Zakariya, Ilmu Nahwu Praktis (system belajar 40 jam), (Cet. Ke IV
;Garut: Ibnu Azka press), h. 173
[2] Bustani Syarif, Qawaid Tingkat Mutawassitah, ( seri B, Ujung Pandang, 1987).
[4]
Anwar,
Moch. Ilmu Nahwu, TerjemahanMatanal-ajurumiyyahdan’imrithy,(Cet;6, Bandung:
Sinar Baru Algesindo, 1995).
- Get link
- Other Apps
Comments
Post a Comment